Secangkir Nestapa Untuk Elisa

/1/
Konon kabarnya pada bulan Juni lalu,
Seorang penyihir menemukan sepotong sajak Sapardji yang bijak bertengger 
diakar pohon bunga yang tak terucap 
di pekarangan rumahnya.
Yang kemudian di lemparinya ke awan yang saat itu tabah menunggu tugasnya.
Lalu awan menyanggupinya, tanpa memilah dan menjadikannya hujan.
Hujan memang tak suka memilih kan ya ?, Ia tumpah tanpa banyak bertanya.
/2/
Hujan yang dari kemarin baunya dirindukan gadis kecil ditengah kota, disulapnya menjadi warna, warna kulitmu, warna rambutmu, warna lipstiknya.
Diam-diam ada lelaki terkagum dari balik jendela menyaksikan hubungan gaib antara gadis dan hujan.
Tak kasat mata menurutnya, ketika sisa warna-warna itu dijadikannya pelangi. Tetapi si lelaki belajar untuk percaya.
Lalu gadis itu menghilang sepanjang kenangan, entah kemana perginya.
/3/
Dicarinya jejak gadis itu disepanjang kota, tidak ketemu.
Atas petunjuk seorang teman, akhirnya ia menemukan rute menuju dimensi metafora, yang mengacak rindu menjadi sebuah kata-kata.
Tempat bertenggernya keabadian,
Tempat dimana bulan dan senja menjadi milik perhatian.
Dimana yang tua akan terlihat muda, dan yang muda tetap pada usia.
Ia tentu berangkat kesana dengan persiapan,
Yang terpikirkan olehnya, sebuah nestapa dari dunia nyata
akan membuka perkenalan tanpa rahasia.
Rahasia mengantarnya sampai pada gerbang yang bertuliskan
Yang fana adalah waktu, Kita abadi.
*
Saat ia sampai pada tujuan.
*
Saat itulah samar-samar terlihat gadis itu olehnya sedang kusyuk membaca masa depan ditemani secangkir hujan.
Di atas batu nisan yang bertuliskan nama lelaki tersebut.
/4/
Ia kemudian mulai paham bahwa ia telah melangkah diatas waktu.
Ketika ia sadar gadis itu adalah sebuah tiada yang letaknya memang sulit diduga.
Bahwa sebenarnya gadis itu sedang tak berada disana.
Ia telah lama kembali ke dunia nyata.
/5/
Lelaki itu lupa jalan untuk pulang,
Ia padam menyatu dengan waktu,
menyatu dengan sepi, dan nestapa
yang dibawanya dalam ingatan.
2017